Menu:

 
A.      Berbagai Permasalahan Pendidikan di Indonesia

   UUD 1945 mengamanatkan pendidikian sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa yang bertujuan menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas handal yang dapat membangun bangsa dan negara yang akan bermuara pada tingkat kehidupan yang layak dan sejahtera serta mampu berdaya saing tinggi sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan teknologi.

   Dalam upaya mengemban amanat tersebut, bangsa Indonesia menghadapi  berbagai persoalan yang muncul silih berganti melanda dunia pendidikan nasional, baik yang berskala mikro maupun yang makro. Persoalan pendidikan di Indonesia adalah persoalan yang rumit, yang dimaksud di sini mengandung banyak macam problematika.

Indonesia saat ini berada dalam situasi transisi dari era sentralisasi ke era desentralisasi, upaya pembuatan kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasinya yang dulu dilakukan secara terpusat oleh aparat pemerintah pusat, sekarang didistribusikan secara desentralisasi ke daerah-daerah. Demikian juga halnya urusan pendidikan, terjadi perubahan paradigma yang dulunya sarwa Negara (state driven) kini mulai berorientasi pada aspirasi masyarakat (putting customers first). Sistem dan proses pendidikan melakukan repositioning (Uno, 2011:6).

B.  Problematika Keguruan di Indonesia

Dunia pendidikan nasional kita memang sedang menghadapi masalah yang demikian kompleks. Begitu kompleksnya masalah itu tidak jarang guru merupakan pihak yang paling sering dituding sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan. Asumsi demikian tentunya tidak semuanya benar, mengingat teramat banyak komponen mikrosistem pendidikan yang ikut menentukan kualitas pendidikan. 
           Namun juga tidak terlalu salah, sebab guru memang merupakan salah satu komponen mikrosistem pendidikan yang sangat strategis dan banyak mengambil peran di dalam proses pendidikan secara luas, khususnya dalam pendidikan persekolahan. Yang menjadi permasalahan keguruan di Indonesia itu antara lain:

1.         Rendahnya Kualitas Guru

Data Balitbang Depdiknas (2001) menunjukkan bahwa guru SD (negeri dan swasta) yang dinilai layak mengajar hanya 38 % dari 1.141.168 guru se-Indonesia.  Begitu juga untuk jenjang menengah, jumlah guru yang dinilai layak mengajar dibawah 70 % (Kompas, 25 Januari 2004).

B. Uno (2011:135) menguraikan bahwa  guru merupakan titik sentral yang strategis dalam kegiatan pendidikan.  Disamping khusus diangkat untuk mengajar dan mendidik, guru dibebani tugas sebagai pelaku pembaruan. Mengingat tugasnya tersebut, masalah kelayakan mengajar menjadi persyaratan yang harus dipenuhi. Padahal, kondisi guru-guru yang ada sekarang cenderung masih memprihatinkan. Hasil survei yang berkaitan dengan kurangnya kemampuan guru dalam mentransformasikan ilmu dan keterampilan kepada siswa, dari 22.899 guru di Jakarta yang dites untuk mengetahui seberapa jauh penguasaan guru bidang studi saat mengajar tersebut memperlihatkan bahwa persentase guru yang memperoleh nilai tujuh (artinya cukup menguasai materi bidang studinya) relatif sedikit (38,96%) dibandingkan dengan mereka yang mendapat nilai kurang dari enam (Sutardjo, 2004). Melihat kenyataan  kondisi guru di Jakarta tersebut, dapat dipastikan bahwa kondisi pendidikan di daerah tentunya lebih memprihatinkan.

2.         Tidak Profesional Dalam Melaksanakan Tugas Keguruan

Profesionalisme guru juga sangat berkaitan dengan kompetensi seorang guru. Adalah sangat tidak layak bila seorang guru tingkat dasar mengajar dengan beragam mata pelajaran. Mereka mengajar berhitung, tetapi juga mengajar bahasa, atau juga mengajari ilmu pengetahuan alam. Kemampuan seseorang itu sesungguhnya terbatas.


          Kompetensi guru akan membawa dampak terhadap hasil proses pendidikan. Oleh sebab itu, seorang guru harus selalu meningkatkan kompetensinya dengan studi lanjut agar ia benar-benar memahami benar akan ilmu yang dikuasainya, dan selalu berlatih diri untuk meningkatkan metodologi dan teknik pembelajaran agar ia dapat melaksanakan pendidikan dan pengajaran dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini masih banyak kita dapati guru-guru yang belum memiliki kompetensi dalam bidangnya dan kurang memiliki pengalaman serta kematangan dalam memberikan beragam metode dan teknik pembelajaran, sehingga terkadang guru menjadi bingung menghadapi murid yang nakal, malas, dan sebagainya. Akibatnya, proses pendidikan tidak memperoleh hasil yang diharapkan.

B. Uno (2011:134) mengatakan sejak pelita II, peran pemerintah begitu dominan dalam menentukan kebijakan pendidikan. Saat itu guru diposisikan sebagai alat politik kekuasaan untuk melanggengkan  rezim orde baru memalui kekuatan Golkar.  Sisi yang terabaikan dengan peran guru yang seperti itu adalah persoalan profesionalisme.  Belum lagi pengelolaan semua kebijakan pendidikan dilakuakan secara sentralistik. Penyususunan rancangan pembelajaran tidak dilakukan melalui analisis karakteristik siswa dan potensi siswa yang dapat dikembangkan siswa. Akibatnya, hasil pendidikan hanya mampu melahirkan SDM yang hanya mampu menghadapi persamaan, sementara perbedaan berfikir dianggap sebagai kelompok yang kontroversi dalam kebijakan, yang pada akhirnya hasil dari pendidikan hanya memperbanyak barisan pengangguran karena ”domain” yang digarap dalam pendidikan tidak sesuai dengan potensi siswa dan SDA yang akan mereka kelola setelah selesai dari lembaga pendidikan.

C.  Mengurai Permasalahan Pendidikan Di Indonesia

Untuk mengurai permasalahan pendidikan di Indonesia, sekaligus dalam rangka menghadapi tantangan dimasa depan, maka harus dilakukan perubahan yang mendasar dalam hal pengelolaan pendidikan.  Semua komponen bangsa tentunya menginginkan Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa yang sudah maju di dunia, itu semua akan tercapai manakala pendidikan sudah menjadi prioritas utama dalam pembangunan, dan dikelola secara sungguh-sungguh.

Kesatuan sistem penanganan pendidikan mulai dari kebijakan pihak yang berwenang, dalam hal ini tentu saja pemerintah. Pemerintah mesti bertanggung jawab penuh terhadap problem pendidikan, sekaligus diperlukan suatu perangkat perundangan yang walaupun sudah terbentuk, namun masih terkesan belum memenuhi harapan. Sebab itu perlu ada perbaikan dan usaha untuk menyempurnakannya. Selain pemerintah, tentu saja semua pihak harus ikut bertanggung jawab. Di samping itu, para penyelenggara pendidikan harus konsisten dalam mengimplementasikan berbagai kebijakan itu, dunia pendidikan jangan dijadikan ajang bisnis. Kemauan dan kepedulian itu harus ditunjukkan melalui pelaksanaan dan kontrol yang kuat. Sehingga dengan demikian bangsa ini diharapkan kelak dapat menghasilkan anak didik yang bermutu dan bermoral. Kuncinya adalah kesatuan dan kebersamaan.  Penanggulangan sistem pendidikan di Indonesia mesti dilakukan dengan penuh kesadaran akan tanggung jawab bersama dan bersatu dalam kebersamaan tersebut.

D. Beberapa Solusi bagi Berbagai Problematika Keguruan di Indonesia

     Begitu strategis dan pentingnya posisi guru dalam pendidikan, maka tuntutan terhadap guru yang berkualitas dan profesional merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Lebih-lebih setelah lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tuntutan profesionalisme itu semakin kuat. Persoalannya, untuk mendapatkan guru yang profesional dan berkualitas  sudah barang tentu  mustahil dapat terjadi dengan sendirinya, melainkan harus diupayakan penyiapan dan pengembangannya secara terus-menerus, terencana dan berkesinambungan.

1. Peningkatan Profesionalisme Guru

      Guru merupakan titik sentral dari peningkatan kualitas pendidikan yang bertumpu pada kualitas proses belajar mengajar. Oleh sebab itu peningkatan profesionalisme guru merupakan suatu keharusan.

      Guru yang profesional tidak hanya menguasai bidang ilmu, bahan ajar, menguasai metode yang tepat, mampu memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan. Guru yang profesional juga harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang hakekat manusia, dan masyarakat. Hakikat-hakikat ini akan melandasi pola pikir dan pola kerja guru dan loyalitasnya kepada profesi pendidikan. Juga dalam implementasi proses belajar mengajar guru harus mampu mengembangkan budaya organisasi kelas, dan iklim organisasi pengajaran yang bermakna, kreatif dan dinamis bergairah, dialogis sehingga menyenangkan bagi peserta didik sesuai dengan tuntutan UU Sisdiknas (UU No 20 / 2003 Pasal 40 ayat 2a).

      Dalam kaitan ini, menurut Supriadi (1988) untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal:

a.   Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya.
b.  Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara    

      mengajarnya kepada siswa.

c.  Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi. d.  Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belejar dari  

      pengalamannya.

e.  Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan  

     profesinya.
       Dengan demikian, untuk menjadi guru yang profesional , seorang guru yang sejati harus berdiri di atas prinsip bahwa praksis pendidikan mutlak memerlukan ilmu pendidikan. Para pendidik harus memperjuangkan prinsip itu

2. Peningkatan Kelayakan Mengajar dan Kesejahteraan Guru

      Apapun alasannya, guru merupakan titik sentral yang strategis dalam kegiatan pendidikan. Disamping khusus diangkat untuk mengerjar dan mendidik, guru diberikan tugas sebagai pelaku pembauran. Mengingat tugasnya tersebut, masalah kelayakan menjadi persyaratan yang harus dipenuhi. Padahal kondisi kemampuan guru-guru yang ada sekarang cenderung masih memprihatinkan.

       Hasil survei yang berkaitan dengan kurangnya kemampuan guru mentrsnsportasikan ilmu dan keterampilan kepada siswa, dari 22.899 guru di Jakarta yang dites untuk mengetahui seberapa jauh penguasaan guru di bidang studi saat mengajar tersebut memperlihatkan bahwa persentase guru yang memperoleh nilai 7 (artinya cukup dalam penguasaan materi bidang studinya) jumlahnya relatif sedikit (38,96 %) dibandingkan mereka yang mereka yang mendapat nilai kurang dari 6 (Sutardjo, 2004). Melihat kenyataan kondisi guru di Jakarta tersebut, dapat dipastikan bahwa kondisi pendidikan di daerahnya lebih memperhatinkan lagi.

      Apabila tingkat kelayakan mengajar sudah terpenuhi, tuntutan perbaikan kesejahteraan bagi guru harus menjadi salah satu agenda pokok program pemerintah. tidak sebaliknya, seperti yang selama ini terjadi guru menuntut perbaikan tingkat kesejahteraan sementara mereka tidak memiliki kelayakan yang cukup. Mungkin agak sulit untuk melakukan mekanisme kontrol yang dapat menjamin bahwa kenaikan gaji atau tunjangan guru akan diikuti secara signifikan dengan ditinggalkannya kerja sampingan oleh guru-guru. Padahal, keprofesionalan seseorang akan ditentukan oleh tingkat kinerja sesuai dengan profesi yang digelutinya.

3.   Memberikan Tunjangan Layak Hidup Bagi Guru yang Masuk Purnatugas

      Pekerjaan sebagai seorang guru adalah pekerjaan profesional yang penuh dengan pengabdian karena berurusan dengan upaya membentuk pola pikir, perilaku, dan tindakan manusia. Oleh karena itu, pekerjaan ini tidak bisa dilakukan setengah hati. Sebagai imbalan jasa yang pernah diberikan harus seimbang dengan kebutuhan dan hari depan guru. Idealnya guru dapat tunjangan rumah, kendaraan, kesehatan, dan tujangan rekreasi keluar negeri minimal di 5 kota besar di Indonesia. Disamping tunjangan lainnya akan tetapi, pemikiran kearah itu masih memerlukan proses yang panjang. Oleh karena itu, pemikiran menjamin kesejahteraan guru setelah masuk purnatugas perlu ada kebijakan pendidikan khusus bagi guru yang sudah berumur 50 tahun, yang diorientasikan pada kesiapan mereka masuk kedunia kerja baru. Program pendidikan ini merupakan pendidikan praktis-pragmatis, yang diikuti pemberian modal kerja yang sesuai dengan jenis pilihan pekerjaan barunya.

 
makalah_problematika_keguruan_dan_pendidikan_di_indonesia.docx
File Size: 38 kb
File Type: docx
Download File

 
soal_jepang_dan_jawaban.docx
File Size: 17 kb
File Type: docx
Download File

 
soal_jepang.docx
File Size: 1080 kb
File Type: docx
Download File

 
ict_dalam_pembelajaran_02.pptx
File Size: 687 kb
File Type: pptx
Download File

 
nihonshi.pptx
File Size: 395 kb
File Type: pptx
Download File

 
ZAMAN MUROMACHI (1338 M – 1568 M)

KEADAAN ZAMAN

         Setelah bakufu Kamakura roboh, pada tahun 1333 M kaisar Godaigo berkehendak memerintah secara de jure dande facto. Perubahan dari pemerintahan bakufu menjadi pemerintahan yang berpusat pada kaisar tersebut dikenal dengan nama restorasi Kenmu. Restorasi tersebut hanya berlangsung sampai 1336 M, karena pada tahun 1336 M Ashikaga Takauji yang sebelumya membantu kaisar, berbalik menentang kaisar yang ingin memerintah sendiri. Ia menyerang Kyōto. Niita Yoshida dan Kusonoki Masahige yang setia pada kaisar, gugur pada pemberontakan tersebut.

         Kaisar kalah dan mundur ke Yoshino (di Nara) dan mendirikan istana di sana. Sementara itu di Kyōto telah diangkat kaisar baru. Karena itu pada tahun 1336 M –1392 M ada dua orang Tennō. Tennō yang di utara/Kyōto (Tennō Kōmyō) dan Tennō yang di selatan/Yoshino (Tennō Godaigo). Tennō yang di utara mendirikan istana Hokuchō (istana utara) dan Tennō yang di selatan mendirikan istana Nanchō (istana selatan). Sehingga pada rentang waktu tersebut dikenal juga dengan zaman Nanbokuchō (zaman istana di utara dan selatan). Rakyat menganggap bahwa Tennō yang sah adalah Tennō yang ada di Yoshino (selatan). Sehingga ada pula yang menamakan zaman ini sebagai zaman Yoshino.

Tahun 1338 M, Tennō Kōmyō mengangkat Ashikaga Takauji sebagai Seiitai Shōgun dan mendirikan bakufu di Kamakura (ada juga yang menyebut zaman ini sebagai zaman Ashikaga). Takauji menjalankan pemerintahan diarki. Dirinya menjadi kepala kalangan samurai, sedangkan adiknya yang bernama Ashikaga Tadayoshi menjadi kepala administrasi pemerintahan. Pemerintahan diarki tersebut ternyata menimbulkan konflik internal dalam keshōgunan.



Ashikaga Takauji

         Kō no Mōronao beserta pendukungnya yang anti-Tadayoshi berhadapan dengan kelompok pro-Tadayoshi. Takauji yang semulanya bersikap netral akhirnya memihak Mōronao. Tadayoshi dipaksa mengundurkan diri dari jabatannya dan dijadikan biksu. Putra Takauji yang bernama Yoshiakira menggantikan Tadayoshi sebagai kepala pemerintahan. Setelah Tadayoshi mengundurkan diri, putra angkatnya yang bernama Ashikaga Tadafuyu melarikan diri ke Kyūshū dan memberontak terhadap Shōgun.

         Pada tahun 1350 M, ketika Takauji memimpin ekspedisi untuk menghabisi Tadafuyu, Tadayoshi melarikan diri dari Kyōto dan bergabung dengan istana selatan. Pasukan Tadayoshi menjadi semakin kuat, sehingga Yoshiakira melarikan diri dari Kyōto karena kalah perang. Pasukan Takauji juga kalah melawan pasukan Tadayoshi. Tahun 1351 M, Takauji berdamai dengan Tadayoshi dengan syarat Kō no Mōronao dan Kō no Mōrouji dijadikan biksu. Tadayoshi kembali menjadi sebagai pembantu Yoshiakira. Takauji dan Yoshiakira memiliki rencana untuk menghabisi Tadayoshi dan Tadafuyu. Namun Tadayoshi lebih dahulu melarikan diri. Di tahun 1351 M juga Tadayoshi tertangkap.

         Kemudian pihak istana selatan yang dipimpin pangeran Muneyoshi, Nitta Yoshioki, Nitta Yoshimune, dan Hōjō Tokiyuki menyerang pasukan Takauji. Tahun 1354 M, pihak istana selatan untuk sementara berhasil menduduki Kyoto. Tapi tahun 1355 M, berhasil direbut kembali oleh pihak istana utara.



Ashikaga Yoshimitsu

Tahun 1392 M Shōgun  generasi ke-3 yaitu Ashikaga Yoshimitsu (cucu Ashikaga Takauji) memindahkan bakufu dari Kamakura ke Moromachi, dan mendirikan bakufu Muromachi. Maka mulai tahun 1392 M – 1573 M disebut zaman Muromachi. Tahun 1392 M Ashikaga Yoshimitsu mendamaikan istana utara dan istana selatan yang sebelumnya berselisih. Tennō yang di selatan kembali ke Kyoto dan mengundurkan diri serta mengakui Tennō utara sebagai penggantinya.

         Tahun 1394 M Ashikaga Yoshimitsu menyerahkan jabatan Shōgun  kepada anaknya, kemudian ia mengundurkan diri tetapi masih tetap memerintah. Ashikaga Yoshimitsu yang mengundurkan diri ke Kitayama (dekat Kyoto) mendirikan paviliun emas (Kinkaku).

         Setelah Yoshimitsu meninggal tahun 1408 M, timbul kekacauan dalam pemerintahan. Terjadi percampuran Kuge(golongan bangsawan) dan Buke (golongan militer) yang berlanjut pula dalam budayanya, yaitu timbulnya Bukebunka(kebudayaan militer-bangsawan). Dalam kenyataannya, golongan Kuge kalah dari golongan Buke sehingga golongan Kuge jatuh miskin.

         Di ibukota Kyoto, Bakufu berkuasa tetapi kekuasaannya tidak mendapat penghargaan dari Daimyō. Bakufu tidak mampu mengatasi kekacauan pemerintahan yang disebabkan oleh Daimyō-Daimyō yang saling berperang untuk memperluas daerah dan lingkungan kekuasaannya.

         Meskipun pemerintahan dalam negeri sedang kacau, tapi perdagangan baik di dalam maupun luar negeri mengalami kemajuan yang pesat. Bahkan pada tahun 1543 M Jepang membuka hubungan dagang dengan Portugis. Tahun 1549 M Franciscus Xaverius memasukkan agama Kristen ke Jepang. Selain agama, tembakau dan senjata api juga masuk ke Jepang.

         Pada masa pemerintahan Ashikaga Yoshimasa (Shōgun  generasi ke-8), pemerintahan semakin kacau. Dia mendirikan paviliun perak (Ginkaku) di Higashiyama. Untuk membiayai pembangunan paviliun tersebut harus ditarik pajak yang besar dari rakyat. Rakyat pun mengadakan pemberontakan. Puncak kekacauan terjadi pada perang Onin (Onin no ran) yang berlangsung 11 tahun (1467 M – 1477 M). Perang itu disebabkan oleh perselisihan dua orang pemimpin militer yaitu Yamanaka Sozen dan Hosokawa Katsumoto. Perang tersebut merupakan suatu tanda dari permulaan pergolakan mati-matian yang baru dapat diakhiri tahun 1615 M. Masa peperangan selama 100 tahun lebih tersebut disebut sebagai Sengoku jidai (zaman negara-negara berperang).

         Bakufu Moromachi jatuh setelah Oda Nobunaga berhasil merampas Kyōto.

KEBUDAYAAN

         Dari segi arsitektur dibuat bangunan yang sangat megah seperti Kinkaku dan Ginkaku. Dari segi seni lahirlah seni minum teh dan seni merangkai bunga (ikebana) serta lukisan dengan tinta Cina. Dari segi pertunjukan, lahirlah drama dan Kyōgen (lelucon). Nō diciptakan oleh Kan’ami dan Zeami. Dari segi pertanian, petani telah mampu membuat kincir angin dan sistem tumpang sari.

PENINGGALAN

         Bangunan yang paling terkenal pada zaman ini adalah Kinkaku dan Ginkaku. Kinkaku atau paviliun emas didirikan oleh Ashikaga Yoshimitsu. Bangunannya mengambil gaya arsitektur bangsawan dan gaya kuil Zen di Cina yang seluruhnya dilapisi emas. Sedangkan Ginkaku atau paviliun perak didirikan oleh Ashikaga Yoshimasa. Bangunannya mengambil gaya arsitektur kuil Zen yang disebut Shōinzukuri. Shōinzukuri merupakan gaya bangunan yang di dalamnya terdapatTokonomaChigaidana (rak), Tatami (lantai tikar), Fusuma (pintu geser dari kertas), dan Akarishōji (jendela kertas). Gaya ini menjadi dasar rumah gaya Jepang sekarang

 
 
zaman_heian.docx
File Size: 277 kb
File Type: docx
Download File

 
ict_1.pptx
File Size: 1288 kb
File Type: pptx
Download File

ict_2.pptx
File Size: 579 kb
File Type: pptx
Download File

ict_3.pptx
File Size: 1002 kb
File Type: pptx
Download File

ict_4.pptx
File Size: 2708 kb
File Type: pptx
Download File